Aku Memilih Kebahagiaanku
Aku menggeliat saat samar-samar telingaku mendengar
suara gaduh. Ini sangat menggangguku. Aku membuka kedua mataku dengan enggan
saat suara itu semakin terdengar di telingaku. Oh…itu suara alarm dari jam
weker yang ada di atas meja kecil, di samping tempat tidurku. Dengan segera aku
meraih jam weker berwana merah itu dan segera menekan tombol agar bunyi lonceng
itu bisa berhenti. Aku mengusap kedua mataku, berharap segera mendapatkan
penglihatan yang jernih. Aku melihat jam weker yang ada di tanganku. Pukul setengah
lima pagi, ini masih terlalu pagi untukku. Aku menguap, mengangkat kedua
tanganku ke atas untuk meregangkan otot-otot tubuhku.
Aku turun dari tempat tidurku, meletakkan jam weker
kembali ke meja dan berjalan menuju meja rias untuk menyisir rambutku yang
berantakan. Aku melihat pantulan diriku di cermin, menjilat bibirku yang terasa
kering. Aku mengerutkan kening saat mendengar nada dering dari ponselku. Aku
berjalan mengambil ponselku yang terletak di dekat jam weker.
“Justin, ada apa?” Aku mengangkat ponsel ke telinga
kananku. Aku masih mengerutkan kening, merasa bingung. Ini masih sangat pagi.
Apakah ada sesuatu yang sangat penting hingga membuatnya harus meneleponku
sepagi ini?
“Hai!” Dia menyapaku. “Kau sudah bangun?”
“Hai! Ya. Ada apa?” Aku tidak bisa menyembunyikan
rasa penasaranku. Ini pertama kalinya dia meneleponku di pagi hari, bahkan
sangat pagi. Aku duduk di atas tempat tidurku.
“Aku hanya berniat membangunkanmu. Dan ternyata kau
sudah bangun.” Aku bisa mendengar dia
menghembuskan napas. Seperti sebuah napas kelegaan. “Apa yang kau lakukan
sekarang? Apa kau merasa gugup?” Dia kembali berbicara.
“Ya, aku sudah bangun.” Aku menganggukkan kepalaku,
meskipun aku tahu Justin tidak dapat melihat gerakanku. “Aku hanya duduk di
atas tempat tidurku…dan mengapa aku harus gugup?”
“Bukankah ini hari pengumuman nilai Ujian Nasional?”
Dia sedikit menggunakan nada bertanya padaku.
“Ya Tuhan, aku hampir melupakannya!” Tanpa sadar aku
berteriak dan langsung berdiri di samping tempat tidur.
“Kau benar-benar pelupa, Ansley.” Dia tertawa.
Tuhan, aku mendengar tawa lepasnya di telepon. Tawanya terdengar seperti
nyanyian burung surga. Menenangkan. Sangat indah. Tanpa sadar aku ikut tertawa
bersamanya.
“Ya, aku tahu itu.” Aku menggigit bibir bawahku,
berusaha menghentika tawaku. Aku tidak bisa menghilangkan jejak senyum di
bibirku. “Apa kau sudah siap untuk pengumuman nanti?” Aku bertanya setelah
berhasil meredam tawaku.
“Aku
tidak tahu. Tapi aku tidak bisa menolaknya.” Jawabnya dengan suara yang tenang.
“Bagaimana denganmu? Apa kau gugup?”
“Ya, tentu saja. Nilai ini sangat penting untuk masa
depanku.” Aku menggigit jari telunjuk tangan kiriku. Aku merasa gugup. Tidak.
Jangan gugup Ansley. Semuanya akan baik-baik saja.
“Kau benar.” Dia menghembuskan napas. “Apa kau sudah
sholat subuh?”
Oh, seharusnya aku sudah melakukannya jika aku tidak
mengangkat telepon ini. “Belum. Aku harus mengangkat teleponmu tadi.”
“Lebih baik kau sholat subuh sekarang. Agar kau
lebih tenang.” Justin benar. Aku akan merasa tenang setelah sholat. Tapi
sejujurnya, mendengarkan suara Justin sudah cukup membuatku tenang. Aku bisa
merasakan pipiku memerah karena malu.
“Baiklah. Apakah tidak apa-apa jika aku sholat subuh
sekarang?” Tanyaku ragu-ragu. Aku harus segera sholat subuh. Tapi aku tidak
bisa berbohong bahwa aku masih menginginkan berbicara dengannya. Aku menggigit
bibir bawahku menunggu jawabannya.
“Tidak masalah, Ansley. Sampai bertemu di sekolah.”
Aku menarik sudut-sudut bibirku hingga membentuk senyuman. Ya, aku akan bertemu
dengannya nanti. Aku tidak sabar untuk bertemu dengannya.
“Sampai nanti, Justin.” Aku menutup telepon dan
segera membanting tubuhku di atas tempat tidur.
Aku memeluk gulingku dengan sangat erat untuk
melampiaskan kebahagianku. Apa yang terjadi padaku? Mengapa aku tidak dapat
menghentikan senyum di bibirku? Apakah aku jatuh cinta pada Justin? Tidak. Itu
tidak mungkin terjadi. Aku tidak boleh jatuh cinta pada Justin. Seketika
senyumku menghilang. Aku tidak mungkin menghianati temanku. Aku tidak seburuk
itu. Aku menggigit bibir bawahku merasa cemas.
Aku menggelengkan kepalaku berusaha mengusir
pemikiran tidak penting itu. Aku segera turun dari tempat tidur dan bergegas
sholat subuh.
Saat sampai di sekolah, aku berjalan
cepat menuju teman-teman sekelasku. Aku merindukan mereka. Ini sudah sekitar
satu minggu lebih kita tidak bertemu, kecuali beberapa teman dekatku. Tentu
saja aku menghabiskan waktuku dengan sahabat-sahabatku.
“Ansley, bagaimana kabarmu?” Selena
memelukku sangat erat, membuatku kesulitan bernapas. Aku memukul punggungnya
dengan pelan, berharap dia segera melepaskan pelukannya, dan aku berhasil.
“Tentu saja aku baik. Bagaimana
denganmu?” Aku tersenyum padanya.
“Aku juga baik. Bagaimana kabarmu
dengan Justin?” Aku mengerutkan kening tidak mengerti.
“Apa maksudmu?” Aku bertanya pada
Selena. Tidak. Jangan katakan pembicaraan ini akan beralih ke Justin dan
diriku. Aku tidak menyukainya.
“Apakah kau semakin dekat dengan
Justin?” Selena bertanya dengan suara yang sangat pelan. Aku bisa melihat
kesedihan yang terpancar di matanya.
“Aku dan Justin hanya berteman biasa, Selena.
Seperti kau dan Justin. Ini tidak seperti yang kau pikirkan.” Tuhan, aku tidak
bisa melakukan ini. Aku tidak bisa melihat temanku sedih, bahkan menangis. Tapi
aku ingin merasakan kebahagiaan. Justin adalah orang pertama yang bisa
membuatku bahagia, kecuali keluargaku. Apakah aku egois? Aku masih ingat, saat
Selena datang kerumahku. Dia menangis di depanku. Aku bisa merasakan
kesedihannya, kesakitannya, kekecewaannya. Selena mencintai Justin. Tapi justin
tidak mencintainya, bahkan Justin tidak berharap untuk menjadi teman dekatnya. Apa
yang seharusnya aku lakukan? Aku tidak mungkin membiarkan Selena merasakan
kesedihannya sendiri, setelah dia memohon-mohon di depanku agar aku membantunya
untuk dapat lebih dekat dengan Justin. Aku pernah membicarakan tentang ini
dengan Justin. Tapi Justin tidak menyukai pembicaraan itu. Dia selalu
mengalihkan atau menghindar dari pembicaraan itu, dan bahkan dia bisa marah.
Aku tidak tahu mengapa Justin seperti itu. Apa yang salah dengan Selena? Dia
cantik dan baik, meskipun kadang-kadang menyusahkan. Aku tidak bisa berbohong
tentang hal itu. Sebenarnya teman-temanku tidak menyukai sifat buruknya. Tapi
aku hanya berpikir bahwa setiap orang memiliki kelemahan pada dirinya.
Suara yang terdengar dari mikrofon mengalihkan
perhatianku. Seluruh siswa di harapkan untuk berkumpul di lapangan basket. Tentu
saja hanya siswa kelas sembilan yang berada di sekolah ini. Sepertinya kelas
tujuh dan delapan di liburkan. Aku dan teman-teman sekelasku bergegas berjalan
menuju lapangan basket.
Setelah semua siswa berkumpul di lapangan basket, Pak
John mulai membahas tentang nilai Ujian Nasional. Mulai dari peringkat sekolah
kita di tingkat privinsi hingga tingkat kabupaten, kemudian peraih nilai Ujian
Nasional tertinggi hingga terendah, dan yang terakhir adalah jumlah siswa yang
lulus di sekolah kami. Semua siswa berteriak gembira saat Pak John
memberitahukan bahwa semua siswa di sekolah kita lulus. Ini melegakan. Pak John
adalah salah satu guru olahraga yang merupakan wakil kepala sekolah bagian
kesiswaan.
Aku duduk di tengah lapangan basket, di bawah
panasnya terik matahari. Semua siswa terlihat gugup menunggu namanya di panggil
oleh Pak John, termasuk diriku. Entahlah. Aku hanya merasa tidak sabar ingin
mendapatkan amplop putih yang berisi nilai ujianku. Ini menegangkan. Aku
memutar bola mataku ke segala arah berharap dapat menemukan seseorang. Justin.
Ya, dimana Justin? Aku tidak melihatnya sejak aku pertama kali menginjakkan
kaki di sekolah tadi. Apakah dia terlambat?
Bola mataku berhenti saat aku menemukan sepasang
bola mata hitam bercahaya di bawah sinar matahari. Sejenak aku mengagumi
bagaimana wajahnya yang terpahat sempurna. Hidungnya yang mancung, matanya yang
menenangkan, seakan Tuhan sedang bahagia saat menciptakan Justin. Dia berada di
barisan paling belakang bersama teman-teman lelakinya. Lumayan jauh dengan
tempatku duduk. Dia sedang menatapku. Tidak mengalihkan pandangannnya dariku,
bahkan dia tidak berkedip! Itu Justin. Perlahan dia menarik sudut-sudut
bibirnya keatas hingga membentuk senyuman yang dapat membuatku kehilangan
oksigen di sekitarku. Tuhan, biarkan aku tetap bernapas! Senyuman itu. Senyuman
yang selalu menarikku untuk terus tersenyum. Dia benar-benar indah. Terimakasih
untuk ciptaan-Mu yang indah ini, Tuhan.
Aku terkesiap kaget saat merasakan getaran ponsel di
sakuku. Dengan segera aku mengambilnya dan melihat ada nama Justin di layar
ponselku. Mengapa dia menghbungiku? Aku menoleh kearahnya untuk meminta
penjelasan. Dia hanya tersenyum dengan ponsel yang menempel di telinga kirinya.
Aku tidak mengerti maksudnya. Dengan ragu-ragu aku menjawab telepon dari
Justin.
“Apa yang kau lakukan?” Aku berbicara dengan lirih,
berharap Selena tidak mendengarku. Dia duduk dua baris di depanku. Aku
bersyukur akan hal itu.
“Apa kau
merasa gugup?” Dia bertanya dengan lembut. Menyalurkan kehangatan pada diriku.
“Ya…” Aku menjawab dengan gugup. Kupikir aku gugup
karena dia! Bukan karena nilaiku. Apakah aku terlihat seperti gadis tolol
sekarang? Aku menundukkan kepalaku karena malu pada diriku.
“Aku yakin nilaimu akan baik, Ansley.” Aku dapat
menangkap bentuk perhatiannya di dalam suara itu. Aku menggigit bibir bawahku
untuk menahan senyumku. Aku tidak boleh tersenyum sendiri.
“Aku berharap seperti itu, Justin. Terimakasih.” Samar-samar
aku bisa mendengar suara teman-temannya yang mulai menggoda Justin. Ini tidak
baik. “Aku akan menutup telepon. Sampai nanti.” Dengan segera aku mematikan
sambungan teleponnya. Jangan sampai semua orang tahu. Aku dan Justin hanya
berteman, tidak lebih. Meskipun sejujurnya aku mengharapkan lebih.
Aku berdiri saat namaku di panggil oleh Pak John.
Aku berjalan ke depan untuk mengambil amplop putih di tangannya. Kemudian aku
berjabat tangan dengannya. Aku mengucapkan kata terimaksih setelah Pak John memeberiku
ucapan selamat.
Aku kembali
ke tempat dudukku tadi sambil menggenggam erat amplop putih yang berisi nilai
Ujian Nasionalku di dalamnya. Aku belum siap untuk membukanya. Apakah nilai ini
akan memuaskan? Atau justru akan mengecewakan? Aku tidak tahu.
Teman-teman sekelasku menyuruhku untuk membukanya,
tapi aku justru memasukkan amplop itu di dalam tas. Aku akan membukanya setelah
semua orang mendapatkan amplop putih itu.
Setelah semua siswa mendapatkan amplop putih yang
berisi nilai Ujian Nasional masing-masing, aku mengambil amplop putih di dalam
tasku. Masih tertutup rapat. Aku memutar pandanganku agar dapat menemukan
Justin. Dan dalam sekejap, aku menemukannya. Dia tidak jauh dariku. Dia sedang
menatapku, membuatku semakin gugup. Dia mengangkat amplop putihnya dan
mengangguk padaku. Aku mengikutinya dengan mengkat amplop putih dan mengangguk
padanya. Kemudian dengan perlahan aku dan Justin membuka amplop putih itu.
Mataku berbinar saat aku selesai melihat nilaiku.
Aku mendongak dan mencari Justin. Aku bisa melihat mata Justin berbinar karena
bahagia. Dia berlari ke arahku dan aku berjalan cepat menghampirinya.
Mengabaikan seruan beberapa temanku yang menanyakan nilaiku. Mengabaikan suara
teriakan kebahagiaan orang-orang di sekitarku. Saat tinggal tiga langkah lagi,
aku berhenti. Menunggunya untuk berada di depanku.
Aku terkesiap kaget saat dia memelukku secara
tiba-tiba. Memelukku sangat erat. Menyalurkan kebahagiannya padaku. Aku
terdiam. Membeku. Tidak dapat menggerakkan tubuhku. “Aku mencintaimu.” Aku
mengedipkan kedua mataku. Apa ini nyata? Apa aku benar-benar berada di
pelukannya? Dan apakah dia mengatakan bahwa dia mencintaiku? Aku dapat merasakan
detak jantungku yang berdetak tiga kali lebih cepat. Aku merasa sangat ringan.
Aku merasa seperti sedang terbang ke surga. Aku merasa sangat bahagia. Dia.
Justin. Dialah kebahagiaanku. Tanpa
sadar aku tersenyum di dalam pelukannya.
Kemudian aku teringat akan Selena. Tidak. Semua ini
salah. Semua ini tidak akan terjadi. Aku tidak mungkin menyakiti perasaan
temanku. Aku tidak ingin melakukannya.
“Um…Justin?” Aku berdehem dan mencoba melepaskan
pelukan Justin. Justin menatapku heran. Matanya terlihat sedang terluka. Apakah
aku membuatnya terluka? Kumohon, jangan.
“Ada apa, Ansley?” Justin masih menatapku dengan
heran.
“Maafkan aku, Justin.” Aku menundukkan kepala. Aku
tidak sanggup menatap matanya. “Aku hanya tidak ingin menyakiti Selena.”
Suaraku terdengar lirih. Hampir seperti bisikan. Aku merasakan air mata
mengumpul di mataku. Tidak, aku tidak boleh menangis.
“Ansley? Justin?” Aku tersentak kaget saat mendengar
suara itu. Suara yang sangat familiar itu adalah suara Selena. Tidak salah
lagi. Apa Selena mendengar semuanya? Tuhan, apa yang harus kulakukan? Aku mencintai
Justin. Tapi disisi lain, aku tidak ingin menyakiti perasaan Selena. Aku tidak
mungkin sanggup melihat temanku sendiri merasa sedih karena diriku. Aku juga
tidak ingin menyakiti perasaan Justin. Mengapa semua ini menjadi rumit?
Hening. Semua di antara kami hanya terdiam membisu.
Tapi aku tahu bahwa Selena dan Justin masih ada di depanku. Aku memejamkan mata
selama beberapa detik, berharap air mata yang menumpuk di mataku segera hilang.
Setelah merasa cukup, aku membuka mata kembali dan mengambil nafas panjang.
“Hi!” Aku mendongak, menatap Selena dengan senyum
palsu yang berlebihan.
“Aku harap kalian bahagia.” Aku membeku saat
mendengar kalimat yang keluar dari mulut Selena. Suaranya sangat lirih, tapi
aku masih bisa mendengarnya. “Aku membencimu, Ansley!” Suaranya pecah. Saat itu
juga aku merasakan duniaku terbalik. Aku tidak ingin menyakiti perasaan
temanku. Kemudian Selena berbalik dan berlari menjauh dariku dan Justin. Aku
merasakan butiran-butiran air mataku jatuh membasahi pipiku. Seketika benteng
pertahanan yang sudah aku bangun menjadi runtuh begitu saja. Tangisku pecah
saat Justin memelukku erat. Dia memelukku seakan ingin menyalurkan ketenangan
padaku. Dia mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja dan aku juga berharap
seperti itu.
“Apakah aku sejahat itu?” Aku melepaskan pelukan
Justin.
Justin menunduk untuk menatapku. “Kau akan menjadi
gadis paling jahat jika kau tidak mengikuti kata hatimu.”
“Tapi aku juga harus menggunakan otakku, Justin.” Aku
menghembuskan napas panjang.
“Dengar. Jika kau memilih mengingkari perasaanmu,
kau menyakiti semua orang.” Seketika aku mendongak untuk menatapnya.
“Apa maksudmu?” Aku mengerutkan keningku merasa
tidak mengerti.
“Pertama, kau menyakiti perasaanku. Kedua, kau
menyakiti perasaan Selena karena aku tidak mungkin bersama bahkan mencintai
Selena. Ketiga, aku yakin kau menyakiti perasaanmu sendiri.” Aku mengerjapkan
mataku tidak percaya. Apakah Justin benar?
“Kenapa? Kenapa kau tidak mungkin mencintainya?”
“Karena aku tidak memiliki kecocokan dengannya. Dan aku
telah jatuh cinta padamu.” Aku menundukkan kepalaku karena merasa malu.
“Pipimu memerah.” Justin menggodaku.
“Itu karena aku juga mencintaimu.” Aku mendongak dan
mataku bertemu dengan matanya. Kemudian aku melihatnya tersenyum lebar. Ya, itu
adalah sebuah senyum kebahagiaan. Apakah aku memilih pada pilihan yang benar?
Apakah semuanya akan baik-baik saja? Aku berharap kebahagiaan ini akan membawa
kabar baik bagi semua orang. Terimakasih, Tuhan.
0 komentar:
Posting Komentar