Pidato Bahasa Indonesia (Motivasi dan Kebohongan)

0 komentar


 Assalamualaikum Wr.Wb

Yang terhormat Kepala SMP N 1 Wonosari
Yang saya hormati Bapak dan Ibu Guru SMP N 1 Wonosari
Serta teman-teman yang saya cintai

Marilah kita panjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya kepada kita semua sehingga kita dapat berkumpul ditempat ini, dalam keadaan sehat wal’afiat.

Dalam kesempatan ini saya akan menyampaikan pidato tentang “Motivasi dan Kebohongan”. Betapa ingin rasanya hidup di tengah masyarakat yang maju. Bayangkan saja jika orang-orang di sekeliling kita memiliki cara berpikir modern, artinya berpendidikan, lingkungan sehat, ekonomi memadai dan lain sebagainya. Gambaran seperti itulah yang menjadi dambaan setiap orang, sekaligus merupakan ciri dari masyarakat yang berkualitas. Apakah kehidupan tersebut dapat terwujud? Tentu saja bisa! Mengapa tidak?

Asalkan bangsa ini tidak menjadi negara bedebah yang di dalamnya berisi kebohongan-kebohongan besar, kita dapat menjadi maju, tapi kenyataannya kebohongan sudah merasuk hidup bangsa kita.

Berbohong adalah perilaku tidak baik dan dapat langsung memunculkan rasa khawatir, takut, kepada mereka yang berbohong. Karena takut akan terungkapnya kebohongan tersebut, muncul lah beberapa lapis kebohongan yang tebal.

Semua orang pasti pernah berbohong untuk melindungi diri dari perbuatan curang yang telah ia lakukan, entah untuk menjaga martabat, maupun gengsi. Apalagi sifat pembohong sudah merusak moral penerus bangsa masa kini. Misalnya saja di awal tahun ini kita diperlihatkan oleh kekacauan penegakan hukum yang timbul akibat rangkaian kebohongan, yang seolah sudah menjadi hobi, kebiasaan ataupun cara hidup. Hal ini sangat menjatuhkan penegak hukum bangsa ini.

Bukan hanya di masalah hukum, dunia pendidikan pun diguncang oleh kebohongan. Misalnya saja kebohongan yang sudah dianggap biasa yaitu mencontek. Semua siswa pasti sudah kenal dengan mencontek bukan?

Perbuatan berbohong pasti ada sebabnya, antara lain karena takut dihukum atas kesalahannya, ingin merasa paling benar atas hal yang salah, menjaga nama baik di hadapan orang dsb. Yang mengerikan adalah akibatnya manusia mematikan rasa kepedulian, hati nurani, tanggung jawab, dan martabat diri, apalagi kemampuan berbohong itu akan terus ada bahkan bertambah.

Solusinya adalah berani untuk hal yang benar, jangan pernah menganggap diri sendiri yang terbaik, berhentilah mengeluh dan kerjakan sesuatu sepenuh hati, hindarkan diri dari hal-hal, tidak berguna dan memancing kebohongan.

Bersyukurlah kita yang berhenti pada suatu kebohongan, tidak menindak lanjuti dengan pernyataan palsu lainnya. Bersyukurlah kita yang tidak seperti banyak tokoh yang ramai dimuat media akibat kebohongannya. Mereka yang berbohong sungguh telah membunuh martabatnya karena takut jujur daripada bohong.

Jauhkanlah sifat kebohongan. Biarlah keajaiban kebenaran menuntun kita semua untuk membawa diri, keluarga, lembaga, masyarakat, dan bangsa menjadi lebih baik di tahun ini.
Bapak Kepala Sekolah , Bapak dan Ibu guru, serta kawan-kawanku, demikianlah pidato singkat saya. Karena pepatah mengatakan tiada gading yang tak retak, oleh karena itu saya mohon maaf bila ada kesalahan dan kata-kata yang kurang berkenan di hati. Terimakasih atas perhatiannya, mudah-mudahan pidato ini bisa menjadi satu motivasi bagi kita semua untuk meningkatkan kreasi dan karya kita tanpa harus membodohi diri sendiri dengan kata lain "berbohong"


Wassalamualaikum Wr.Wb

Cerpen (Aku Memilih Kebahagiaanku)

0 komentar

Aku Memilih Kebahagiaanku

Aku menggeliat saat samar-samar telingaku mendengar suara gaduh. Ini sangat menggangguku. Aku membuka kedua mataku dengan enggan saat suara itu semakin terdengar di telingaku. Oh…itu suara alarm dari jam weker yang ada di atas meja kecil, di samping tempat tidurku. Dengan segera aku meraih jam weker berwana merah itu dan segera menekan tombol agar bunyi lonceng itu bisa berhenti. Aku mengusap kedua mataku, berharap segera mendapatkan penglihatan yang jernih. Aku melihat jam weker yang ada di tanganku. Pukul setengah lima pagi, ini masih terlalu pagi untukku. Aku menguap, mengangkat kedua tanganku ke atas untuk meregangkan otot-otot tubuhku.
Aku turun dari tempat tidurku, meletakkan jam weker kembali ke meja dan berjalan menuju meja rias untuk menyisir rambutku yang berantakan. Aku melihat pantulan diriku di cermin, menjilat bibirku yang terasa kering. Aku mengerutkan kening saat mendengar nada dering dari ponselku. Aku berjalan mengambil ponselku yang terletak di dekat jam weker.
“Justin, ada apa?” Aku mengangkat ponsel ke telinga kananku. Aku masih mengerutkan kening, merasa bingung. Ini masih sangat pagi. Apakah ada sesuatu yang sangat penting hingga membuatnya harus meneleponku sepagi ini?
“Hai!” Dia menyapaku. “Kau sudah bangun?”
“Hai! Ya. Ada apa?” Aku tidak bisa menyembunyikan rasa penasaranku. Ini pertama kalinya dia meneleponku di pagi hari, bahkan sangat pagi. Aku duduk di atas tempat tidurku.
“Aku hanya berniat membangunkanmu. Dan ternyata kau sudah bangun.”  Aku bisa mendengar dia menghembuskan napas. Seperti sebuah napas kelegaan. “Apa yang kau lakukan sekarang? Apa kau merasa gugup?” Dia kembali berbicara.
“Ya, aku sudah bangun.” Aku menganggukkan kepalaku, meskipun aku tahu Justin tidak dapat melihat gerakanku. “Aku hanya duduk di atas tempat tidurku…dan mengapa aku harus gugup?”
“Bukankah ini hari pengumuman nilai Ujian Nasional?” Dia sedikit menggunakan nada bertanya padaku.
“Ya Tuhan, aku hampir melupakannya!” Tanpa sadar aku berteriak dan langsung berdiri di samping tempat tidur.
“Kau benar-benar pelupa, Ansley.” Dia tertawa. Tuhan, aku mendengar tawa lepasnya di telepon. Tawanya terdengar seperti nyanyian burung surga. Menenangkan. Sangat indah. Tanpa sadar aku ikut tertawa bersamanya.
“Ya, aku tahu itu.” Aku menggigit bibir bawahku, berusaha menghentika tawaku. Aku tidak bisa menghilangkan jejak senyum di bibirku. “Apa kau sudah siap untuk pengumuman nanti?” Aku bertanya setelah berhasil meredam tawaku.
            “Aku tidak tahu. Tapi aku tidak bisa menolaknya.” Jawabnya dengan suara yang tenang. “Bagaimana denganmu? Apa kau gugup?”
“Ya, tentu saja. Nilai ini sangat penting untuk masa depanku.” Aku menggigit jari telunjuk tangan kiriku. Aku merasa gugup. Tidak. Jangan gugup Ansley. Semuanya akan baik-baik saja.
“Kau benar.” Dia menghembuskan napas. “Apa kau sudah sholat subuh?”
Oh, seharusnya aku sudah melakukannya jika aku tidak mengangkat telepon ini. “Belum. Aku harus mengangkat teleponmu tadi.”
“Lebih baik kau sholat subuh sekarang. Agar kau lebih tenang.” Justin benar. Aku akan merasa tenang setelah sholat. Tapi sejujurnya, mendengarkan suara Justin sudah cukup membuatku tenang. Aku bisa merasakan pipiku memerah karena malu.
“Baiklah. Apakah tidak apa-apa jika aku sholat subuh sekarang?” Tanyaku ragu-ragu. Aku harus segera sholat subuh. Tapi aku tidak bisa berbohong bahwa aku masih menginginkan berbicara dengannya. Aku menggigit bibir bawahku menunggu jawabannya.
“Tidak masalah, Ansley. Sampai bertemu di sekolah.” Aku menarik sudut-sudut bibirku hingga membentuk senyuman. Ya, aku akan bertemu dengannya nanti. Aku tidak sabar untuk bertemu dengannya.
“Sampai nanti, Justin.” Aku menutup telepon dan segera membanting tubuhku di atas tempat tidur.
Aku memeluk gulingku dengan sangat erat untuk melampiaskan kebahagianku. Apa yang terjadi padaku? Mengapa aku tidak dapat menghentikan senyum di bibirku? Apakah aku jatuh cinta pada Justin? Tidak. Itu tidak mungkin terjadi. Aku tidak boleh jatuh cinta pada Justin. Seketika senyumku menghilang. Aku tidak mungkin menghianati temanku. Aku tidak seburuk itu. Aku menggigit bibir bawahku merasa cemas.
Aku menggelengkan kepalaku berusaha mengusir pemikiran tidak penting itu. Aku segera turun dari tempat tidur dan bergegas sholat subuh.

            Saat sampai di sekolah, aku berjalan cepat menuju teman-teman sekelasku. Aku merindukan mereka. Ini sudah sekitar satu minggu lebih kita tidak bertemu, kecuali beberapa teman dekatku. Tentu saja aku menghabiskan waktuku dengan sahabat-sahabatku.
            “Ansley, bagaimana kabarmu?” Selena memelukku sangat erat, membuatku kesulitan bernapas. Aku memukul punggungnya dengan pelan, berharap dia segera melepaskan pelukannya, dan aku berhasil.
            “Tentu saja aku baik. Bagaimana denganmu?” Aku tersenyum padanya.
            “Aku juga baik. Bagaimana kabarmu dengan Justin?” Aku mengerutkan kening tidak mengerti.
            “Apa maksudmu?” Aku bertanya pada Selena. Tidak. Jangan katakan pembicaraan ini akan beralih ke Justin dan diriku. Aku tidak menyukainya.
            “Apakah kau semakin dekat dengan Justin?” Selena bertanya dengan suara yang sangat pelan. Aku bisa melihat kesedihan yang terpancar di matanya.
“Aku dan Justin hanya berteman biasa, Selena. Seperti kau dan Justin. Ini tidak seperti yang kau pikirkan.” Tuhan, aku tidak bisa melakukan ini. Aku tidak bisa melihat temanku sedih, bahkan menangis. Tapi aku ingin merasakan kebahagiaan. Justin adalah orang pertama yang bisa membuatku bahagia, kecuali keluargaku. Apakah aku egois? Aku masih ingat, saat Selena datang kerumahku. Dia menangis di depanku. Aku bisa merasakan kesedihannya, kesakitannya, kekecewaannya. Selena mencintai Justin. Tapi justin tidak mencintainya, bahkan Justin tidak berharap untuk menjadi teman dekatnya. Apa yang seharusnya aku lakukan? Aku tidak mungkin membiarkan Selena merasakan kesedihannya sendiri, setelah dia memohon-mohon di depanku agar aku membantunya untuk dapat lebih dekat dengan Justin. Aku pernah membicarakan tentang ini dengan Justin. Tapi Justin tidak menyukai pembicaraan itu. Dia selalu mengalihkan atau menghindar dari pembicaraan itu, dan bahkan dia bisa marah. Aku tidak tahu mengapa Justin seperti itu. Apa yang salah dengan Selena? Dia cantik dan baik, meskipun kadang-kadang menyusahkan. Aku tidak bisa berbohong tentang hal itu. Sebenarnya teman-temanku tidak menyukai sifat buruknya. Tapi aku hanya berpikir bahwa setiap orang memiliki kelemahan pada dirinya.
Suara yang terdengar dari mikrofon mengalihkan perhatianku. Seluruh siswa di harapkan untuk berkumpul di lapangan basket. Tentu saja hanya siswa kelas sembilan yang berada di sekolah ini. Sepertinya kelas tujuh dan delapan di liburkan. Aku dan teman-teman sekelasku bergegas berjalan menuju lapangan basket.
Setelah semua siswa berkumpul di lapangan basket, Pak John mulai membahas tentang nilai Ujian Nasional. Mulai dari peringkat sekolah kita di tingkat privinsi hingga tingkat kabupaten, kemudian peraih nilai Ujian Nasional tertinggi hingga terendah, dan yang terakhir adalah jumlah siswa yang lulus di sekolah kami. Semua siswa berteriak gembira saat Pak John memberitahukan bahwa semua siswa di sekolah kita lulus. Ini melegakan. Pak John adalah salah satu guru olahraga yang merupakan wakil kepala sekolah bagian kesiswaan.
Aku duduk di tengah lapangan basket, di bawah panasnya terik matahari. Semua siswa terlihat gugup menunggu namanya di panggil oleh Pak John, termasuk diriku. Entahlah. Aku hanya merasa tidak sabar ingin mendapatkan amplop putih yang berisi nilai ujianku. Ini menegangkan. Aku memutar bola mataku ke segala arah berharap dapat menemukan seseorang. Justin. Ya, dimana Justin? Aku tidak melihatnya sejak aku pertama kali menginjakkan kaki di sekolah tadi. Apakah dia terlambat?
Bola mataku berhenti saat aku menemukan sepasang bola mata hitam bercahaya di bawah sinar matahari. Sejenak aku mengagumi bagaimana wajahnya yang terpahat sempurna. Hidungnya yang mancung, matanya yang menenangkan, seakan Tuhan sedang bahagia saat menciptakan Justin. Dia berada di barisan paling belakang bersama teman-teman lelakinya. Lumayan jauh dengan tempatku duduk. Dia sedang menatapku. Tidak mengalihkan pandangannnya dariku, bahkan dia tidak berkedip! Itu Justin. Perlahan dia menarik sudut-sudut bibirnya keatas hingga membentuk senyuman yang dapat membuatku kehilangan oksigen di sekitarku. Tuhan, biarkan aku tetap bernapas! Senyuman itu. Senyuman yang selalu menarikku untuk terus tersenyum. Dia benar-benar indah. Terimakasih untuk ciptaan-Mu yang indah ini, Tuhan.
Aku terkesiap kaget saat merasakan getaran ponsel di sakuku. Dengan segera aku mengambilnya dan melihat ada nama Justin di layar ponselku. Mengapa dia menghbungiku? Aku menoleh kearahnya untuk meminta penjelasan. Dia hanya tersenyum dengan ponsel yang menempel di telinga kirinya. Aku tidak mengerti maksudnya. Dengan ragu-ragu aku menjawab telepon dari Justin.
“Apa yang kau lakukan?” Aku berbicara dengan lirih, berharap Selena tidak mendengarku. Dia duduk dua baris di depanku. Aku bersyukur akan hal itu.
 “Apa kau merasa gugup?” Dia bertanya dengan lembut. Menyalurkan kehangatan pada diriku.
“Ya…” Aku menjawab dengan gugup. Kupikir aku gugup karena dia! Bukan karena nilaiku. Apakah aku terlihat seperti gadis tolol sekarang? Aku menundukkan kepalaku karena malu pada diriku.
“Aku yakin nilaimu akan baik, Ansley.” Aku dapat menangkap bentuk perhatiannya di dalam suara itu. Aku menggigit bibir bawahku untuk menahan senyumku. Aku tidak boleh tersenyum sendiri.
“Aku berharap seperti itu, Justin. Terimakasih.” Samar-samar aku bisa mendengar suara teman-temannya yang mulai menggoda Justin. Ini tidak baik. “Aku akan menutup telepon. Sampai nanti.” Dengan segera aku mematikan sambungan teleponnya. Jangan sampai semua orang tahu. Aku dan Justin hanya berteman, tidak lebih. Meskipun sejujurnya aku mengharapkan lebih.
Aku berdiri saat namaku di panggil oleh Pak John. Aku berjalan ke depan untuk mengambil amplop putih di tangannya. Kemudian aku berjabat tangan dengannya. Aku mengucapkan kata terimaksih setelah Pak John memeberiku ucapan selamat.
 Aku kembali ke tempat dudukku tadi sambil menggenggam erat amplop putih yang berisi nilai Ujian Nasionalku di dalamnya. Aku belum siap untuk membukanya. Apakah nilai ini akan memuaskan? Atau justru akan mengecewakan? Aku tidak tahu.
Teman-teman sekelasku menyuruhku untuk membukanya, tapi aku justru memasukkan amplop itu di dalam tas. Aku akan membukanya setelah semua orang mendapatkan amplop putih itu.
Setelah semua siswa mendapatkan amplop putih yang berisi nilai Ujian Nasional masing-masing, aku mengambil amplop putih di dalam tasku. Masih tertutup rapat. Aku memutar pandanganku agar dapat menemukan Justin. Dan dalam sekejap, aku menemukannya. Dia tidak jauh dariku. Dia sedang menatapku, membuatku semakin gugup. Dia mengangkat amplop putihnya dan mengangguk padaku. Aku mengikutinya dengan mengkat amplop putih dan mengangguk padanya. Kemudian dengan perlahan aku dan Justin membuka amplop putih itu.
Mataku berbinar saat aku selesai melihat nilaiku. Aku mendongak dan mencari Justin. Aku bisa melihat mata Justin berbinar karena bahagia. Dia berlari ke arahku dan aku berjalan cepat menghampirinya. Mengabaikan seruan beberapa temanku yang menanyakan nilaiku. Mengabaikan suara teriakan kebahagiaan orang-orang di sekitarku. Saat tinggal tiga langkah lagi, aku berhenti. Menunggunya untuk berada di depanku.
Aku terkesiap kaget saat dia memelukku secara tiba-tiba. Memelukku sangat erat. Menyalurkan kebahagiannya padaku. Aku terdiam. Membeku. Tidak dapat menggerakkan tubuhku. “Aku mencintaimu.” Aku mengedipkan kedua mataku. Apa ini nyata? Apa aku benar-benar berada di pelukannya? Dan apakah dia mengatakan bahwa dia mencintaiku? Aku dapat merasakan detak jantungku yang berdetak tiga kali lebih cepat. Aku merasa sangat ringan. Aku merasa seperti sedang terbang ke surga. Aku merasa sangat bahagia. Dia. Justin. Dialah kebahagiaanku.  Tanpa sadar aku tersenyum di dalam pelukannya.
Kemudian aku teringat akan Selena. Tidak. Semua ini salah. Semua ini tidak akan terjadi. Aku tidak mungkin menyakiti perasaan temanku. Aku tidak ingin melakukannya.
“Um…Justin?” Aku berdehem dan mencoba melepaskan pelukan Justin. Justin menatapku heran. Matanya terlihat sedang terluka. Apakah aku membuatnya terluka? Kumohon, jangan.
“Ada apa, Ansley?” Justin masih menatapku dengan heran.
“Maafkan aku, Justin.” Aku menundukkan kepala. Aku tidak sanggup menatap matanya. “Aku hanya tidak ingin menyakiti Selena.” Suaraku terdengar lirih. Hampir seperti bisikan. Aku merasakan air mata mengumpul di mataku. Tidak, aku tidak boleh menangis.
“Ansley? Justin?” Aku tersentak kaget saat mendengar suara itu. Suara yang sangat familiar itu adalah suara Selena. Tidak salah lagi. Apa Selena mendengar semuanya? Tuhan, apa yang harus kulakukan? Aku mencintai Justin. Tapi disisi lain, aku tidak ingin menyakiti perasaan Selena. Aku tidak mungkin sanggup melihat temanku sendiri merasa sedih karena diriku. Aku juga tidak ingin menyakiti perasaan Justin. Mengapa semua ini menjadi rumit?
Hening. Semua di antara kami hanya terdiam membisu. Tapi aku tahu bahwa Selena dan Justin masih ada di depanku. Aku memejamkan mata selama beberapa detik, berharap air mata yang menumpuk di mataku segera hilang. Setelah merasa cukup, aku membuka mata kembali dan mengambil nafas panjang.
“Hi!” Aku mendongak, menatap Selena dengan senyum palsu yang berlebihan.
“Aku harap kalian bahagia.” Aku membeku saat mendengar kalimat yang keluar dari mulut Selena. Suaranya sangat lirih, tapi aku masih bisa mendengarnya. “Aku membencimu, Ansley!” Suaranya pecah. Saat itu juga aku merasakan duniaku terbalik. Aku tidak ingin menyakiti perasaan temanku. Kemudian Selena berbalik dan berlari menjauh dariku dan Justin. Aku merasakan butiran-butiran air mataku jatuh membasahi pipiku. Seketika benteng pertahanan yang sudah aku bangun menjadi runtuh begitu saja. Tangisku pecah saat Justin memelukku erat. Dia memelukku seakan ingin menyalurkan ketenangan padaku. Dia mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja dan aku juga berharap seperti itu.
“Apakah aku sejahat itu?” Aku melepaskan pelukan Justin.
Justin menunduk untuk menatapku. “Kau akan menjadi gadis paling jahat jika kau tidak mengikuti kata hatimu.”
“Tapi aku juga harus menggunakan otakku, Justin.” Aku menghembuskan napas panjang.
“Dengar. Jika kau memilih mengingkari perasaanmu, kau menyakiti semua orang.” Seketika aku mendongak untuk menatapnya.
“Apa maksudmu?” Aku mengerutkan keningku merasa tidak mengerti.
“Pertama, kau menyakiti perasaanku. Kedua, kau menyakiti perasaan Selena karena aku tidak mungkin bersama bahkan mencintai Selena. Ketiga, aku yakin kau menyakiti perasaanmu sendiri.” Aku mengerjapkan mataku tidak percaya. Apakah Justin benar?
“Kenapa? Kenapa kau tidak mungkin mencintainya?”
“Karena aku tidak memiliki kecocokan dengannya. Dan aku telah jatuh cinta padamu.” Aku menundukkan kepalaku karena merasa malu.
“Pipimu memerah.” Justin menggodaku.

“Itu karena aku juga mencintaimu.” Aku mendongak dan mataku bertemu dengan matanya. Kemudian aku melihatnya tersenyum lebar. Ya, itu adalah sebuah senyum kebahagiaan. Apakah aku memilih pada pilihan yang benar? Apakah semuanya akan baik-baik saja? Aku berharap kebahagiaan ini akan membawa kabar baik bagi semua orang. Terimakasih, Tuhan.

Drama (Tema : Kebersihan Lingkungan)

0 komentar

Pak Kades, Pahlawanku!

                Di suatu pagi, di desa Budi Mulya nampak dua orang warga sedang berjalan mendekati bantaran sungai. Dua warga tersebut sedang membawa tempat sampah. Setelah sampai di bantaran sungai, sampah tersebut di buang begitu saja. Pak Eko, kepala dukuh desa Budi Mulya kebetulan sedang berada di dekat sungai. Melihat ulah warganya, Pak Eko langsung mendekatinya.
Pak Eko : (berjalan mendekati warga) “Hei, sudah ku bilang jangan buang sampah dibantaran sungai.” (sambil menunjuk sampah yang sudah dibuang)
Warga 1 : (terkejut) “Suka-suka saya, Pak. Lagian nanti juga akan dibersihkan petugas kebersihan.”
Warga 2 : “Iya, betul. Lagi pula sungai ini kan bukan sungai bapak.”
Pak Eko : “Ini memang bukan sungai saya. Tapi sungai ini bukan tempat sampah. Dan kalian berdua sebagai warga harus menjaga lingkungan. Janganhanya menghandalkan petugas kebersihan saja. Cepat ambil sampahnya dan buang ditempat sampah yang sudah di sediakan!”
Warga 1 : “Ah sudah terlanjur, pak. Biar di bersihkan petugas kebersihan saja.”
Pak Eko : “Jangan seperti itu. Kalian harus bertanggung jawab atas perbuatan kalian.”
Warga 2 : (berbicara dengan ekspresi jijik) “Tapi kami tidak mungkin memungut sampah-sampah itu, Pak.”
Warga 1 : “Iya, Pak. Kami berjanji tidak akan mengulanginya lagi.”
Pak Eko : (menggelengkan kepala) “Tidak. Kalian harus tetap bertanggung jawab. Ayo, sekarang bersihkan sampah itu!”
Warga 1 : “Baik, Pak. Akan saya buang di tempat sampah, Pak.” (memunguti sampah tersebut dengan enggan)
Pak Eko : “Saya ingin ibu-ibu datang ke rumah saya nanti sore. Apakah bisa?”
Warga 2 : “Bisa, Pak. Tetapi untuk apa?” (mengerutkan kening heran)
Pak Eko : “Saya akan menjelaskan nanti, Bu.”
Warga 1 : “Baik, Pak.”
Pak Eko : (menganggukkan kepala dan berjalan menjauh)
Warga 1 : (membuang sampah pada tempatnya) “Kenapa kepala desa itu sok mau jadi pahlawan sih?”
Warga 2 : “Mungkin agar terlihat seperti kepala dukuh yang baik. Atau ingin mendaftar menjadi caleg?”
Warga 1 dan 2 : (tertawa bersama)

Di rumah Pak Kades
Warga 2 : (mengetuk pintu rumah Pak Kades)
Pak Eko : “Oh ibu-ibu. Silahkan masuk, Bu.”
Warga 1 : “Ada apa, Pak Kades? Mengapa memanggil kami ke rumah bapak?”
Pak Eko : “Silahkan duduk dulu, Ibu-ibu.”
Warga 1 dan 2 : (duduk di sofa ruang tamu)
Warga 2 : “Jadi, bagaimana Pak?”
Pak Eko : “Biarkan Ibu petugas kebersihan dan kakak KKN ini yang menjelaskan, Bu. Kebetulan mereka sedang melakukan penelitian di desa ini.”
Petugas Kebersihan : “Ibu-ibu, apakah kalian berniat membuang sampah di bantaran sungai tadi pagi?”
Warga 1 : “Iya, Bu. Tapi kami sudah memungutnya kembali.”
Warga 2 : “Iya, kami sudah membuang pada tempatnya. Apa salah kami?”
Petugas Kebersihan : “Ibu sudah benar karena membuang sampah pada tempatnya. Saya ingin mengucapkan terimakasih kepada Pak Eko karena sudah mengingatkan warganya.”
Pak Eko : (menganggukkan kepala) “Ya, Bu.”
Petugas Kebersihan : “Apakah Ibu-ibu tahu apa akibatnya jika membuang sampah sembarangan? Terutama membuang sampah di sungai.”
Warga 1 : “Apa akibatnya, Bu?”
Petugas Kebersihan : “Sampah-sampah itu akan menumpuk dan membuat sungai menjadi penuh hingga menyebabkan banjir. Hal itu akan sangat merugikan masyarakat di sekitar.”
KKN : “Selain itu, membuang sampah sembarangan juga mengotori lingkungan yang membuat ekosistem sungai terganggu. Kemudian makhluk hidup yang ada didalamnya akan mati.
Warga 2 : “Loh? Bukannya sampah itu akan di bersihkan oleh petugas kebersihan?”
KKN : “Itu benar, Bu. Petugas kebersihan memang bertugas untuk memunguti sampah-sam...”
Petugas Kebersihan : (memotong pembicaraan KKN dan berdiri dari sofa) “Tapi bukan berarti itu hanya tugas para petugas kebersihan, Bu! Setiap warga juga harus menhaga kebersihan lingkungan!”
Warga 1 dan 2 : (terkejut atas kemarahan petugas kebersihan) Wow!
Petugas Kebersihan : “Lagipula jika desa ini terkena banjir, warga juga kan yang repot!” (menggebrak meja)
KKN : “Sudah, Bu. Sudah.” (ikut berdiri untuk menenangkan petugas kebersihan) Jangan terlalu emosi. Mereka mungkin belum mengerti.”
Pak Eko : “Janganlah menggunakan emosi untuk menyelesaikan masalah, Bu. Lebih baik kita bicarakan ini dengan baik-baik.”
KKN : “Iya, Bu. Lagipula Ibu-ibu ini kan juga sudah membuang sampah pada tempatnya.”
Petugas Kebersihan dan KKN : (kembali duduk)
KKN : “Petugas kebersihan memang bertugas untuk membersihkan lingkungan sekitar. Akan tetapi jika semua orang tidak membuang sampah pada tempatnya, bagaimana para petugas kebersihan mengatasi semua itu?”
Petugas Kebersihan : “Nah, itu benar! Jika semua warga membuang sampah sembarangan, para petugas kebersihan tidak dapat mengatasi sampah-sampah itu dengan cepat. Dengan begitu, potensi banjir akan semakin besar.”
KKN : “Lagipula apa susahnya membuang sampah pada tempatnya, Ibu-ibu? Bukankah sudah ada tempat sampah yang di sediakan?”
Warga 2 : “Ya, kami tahu. Hanya saja, tempat sampah itu sudah penuh. Kami bingung harus membuang dimana.”
KKN : “Kalau begitu, Ibu-ibu bisa membuang sampah ke dalam kantung plastik besar dan mengikatnya. Kemudian sampah itu bisa di letakkan di dekat tempat sampah.”
Petugas Kebersihan : “Dan dengan begitu, para petugas kebersihan akan mengambilnya.”
Warga 1 dan 2 : (menganggukkan kepala mengerti)
Pak Eko : “Jadi bagaimana, Ibu-ibu? Apakah sudah mengerti?”
Warga 2 : “Iya, Pak. Kami mengerti.”
Warga 1 : “Terimakasih sudah mengingatkan kami, Pak. Dan terimakasih sudah memberikan wawasan bagi kami. Kami tidak akan mengulanginya lagi.”

                Akhirnya mereka saling berjabat tangan untuk meminta maaf dan berpamitan. 


Karya : Ajeng Ramadhani

Sinopsis Novel Bahasa Inggris

4 komentar

BOOK REPORT

Title : Skipper and Sam
Writer : Carolyn Dinan
Publisher : Faber & Faber Ltd
Year of publications : 1984

Summary

There was a boy who really wanted a dog, right from the time when he was a small baby. His name is Sam. Shortly before his sixth birthday, Sam got the small brown puppy that Sam’s family called Skipper. 
Skipper grew so fast and became a bad big dog because he stole everything he could get hold of between meals. He got bigger and bigger until he ate his first bed, Mum got annoyed with that. So, they looked for a new bed for him but it got worse. Skipper chewed his new bed and got sick after that. In the vet, the doctor said that Skipper was losing his puppy teeth and needed some train that wouldn’t make him so bored. Because of that, patiently Sam trained Skipper and it was a bit success. 
One day, when Aunt Mona and Primrose came to tea, Skipper had a trouble with Primrose by made her new dress got dirty. Unpredictable, because of that Sam and Primrose had a better relationship and great experienceby climbed the apple tree together. There was a Dog Show at the park, Sam and Skipper joined in that show and fortunately Skipper won that competition with his third place. 
One day, Sam fought with his friend, Kate. Because of it, Skipper was missing. Sam was really worried, he tried to found him with Mum and finally they found him in police station. After that, there are still many stories about Sam and Skipper from an incident on The Harvest Festival, a new expirience when Skipper be a Rescuer and terrible moment when Skipper broke Great Aunt May’s vase. From that many stories, Skipper just made many trouble and Mum was worried about it. Skipper wasn’t a puppy anymore, he was a big dog who need a good home in the country and Sam’s home isn’t enough. Sam was really afraid if he must let Skipper go away, but unpredictable Dad had a surprise with a new house for them that really comfortable and suitable for Skipper.


Summary yet by Ajeng Ramadhani
Sinopsis novel bahasa inggris Slamet Riyanto